Apa reaksi
Anda ketika listrik di rumah Anda padam? Jengkel, kesal, mengomel, dan tak
jarang sumpah serapah pun keluar. Begitu kira-kira reaksi kita ketika listrik
di rumah kita padam. Jika hanya sesekali atau jarang terjadi mungkin tidak akan
terlalu bermasalah, tapi kalau sudah terlalu sering ini tentu meresahkan.
Celakanya, pemadaman bergilir ini sering kita alami. Ini bukan berita
mengada-ada atau kita harus gooling data untuk menemukan benar-tidak
faktanya? Hehe.. Saya dan kebanyakan kita mungkin sering mengalami.
Salah satu
persoalan klise yang sering dikeluhkan PLN terkait pemadaman listrik ini adalah
karena kurangnya pasokan energi listrik. Yang paling terasa ketika musim
kemarau tiba. Di saat itu pasokan listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA) mengalami penyusutan, atau bahkan terhenti supply-nya. Seperti
pembangkit Batutegi di Lampung, setiap kemarau bisa dipastikan air bendungan
menyusut dan tidak mampu menyuoplai air untuk pembangkit listrik. Di
waduk-waduk PLTA yang lain sepertinya tak kasusnya tak jauh beda. Penggundulan
hutan secara membabi buta belakangan ini disinyalir menjadi penyebab
sedimentasi dan kemampuan menyimpan air waduk-waduk kita.
Konsumsi
listrik kita secara nasional memang terus meningkat. di satu sisi ini pertanda
baik karena berarti aktifitas ekonomi tumbuh di tengah masyarakat. Namun
disisi lain, hal ini tentu mengharuskan para pemangku kepentingan--terutama PLN
yang diberi mandat oleh negara untuk menyeleggarakan pelayanan umum di bidang
kelistrikan--untuk bekerja lebih keras dan kreatif untuk menghasilkan energi
listrik dalam jumlah cukup.
Berdasarkan
data rasio eletrifikasi yang dipublikasikan oleh
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kita akan tahu bahwa ternyata
masih banyak penduduk di Republik ini yang belum menikmati listrik. Rasio
eletrifikasi menandakan tingkat perbandingan jumlah penduduk yang menikmati
listrik dengan jumlah total penduduk di suatu wilayah atau negara.
Menurut Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM,
setidaknya dibutuhkan tambahan kapasitas 5.700-6.000 megawatt per tahu untuk
mengejar ketertinggalan rasio yang baru berkisar 60 % ini
Selama ini
energi listrik umumnya dihasilkan dari beberapa sumber energi konvensional
seperti dari bahan bakar minyak/Pembangkit Listrik tenaga Diesel (PLTD), dari
batu bara/ Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dari kincir air bendungan
besar/ Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dari bahan bakar gas/ Pembangkit
istrik Tenaga Gas (PLTG), dan dari sumber panas bumi/ Pembangkit Listrik
Tenaga Panas Bumi(PLTPB).
Sebagai
orang awam soal kelistrikan, yang saya tahu, investasi untuk menyediakan
pembangkit-pembangkit tersebut tentu sangat besar. Tentunya karena disebabkan
kapasitas listrik yang dihasilkan juga besar. Maka keterlibatan swasta pun
dibuka. Belakangan yang gencar dipromosikan ke investor adalah energi panas
bumi. Konon kabarnya Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar nomor dua
sedunia. Tapi sekali lagi, investasi ke untuk eksplorasi panas bumi memerlukan
dana yang yang tidak sedikit. Investasi untuk mengekplorasi panas bumi menjadi
listrik ini kenyataannya belum banyak yang terealisasi karena berbagai
persoalan, terutama menyangkut ruwetnya perizinan, lokasi yang di tengah hutan
konservasi, dan berbagai persoalan lain.
Dari
kajian liteatur dan googling sana sini, saya setuju bahwa salah satu alternatif
energi terbarukan yang murah dan layak diseriuskan untuk dikembangkan adalah Pembangkit Listrik Berbasis Biomassa/ Pembangkit
Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm).
Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang
mengacu pada bahan biologis yang berasal dari organisme yang belum lama mati.
Biomassa yang paling banyak tersedia dan harus dimanfaatkan adalah
limbah, baik itu limbah industri maupun limbah rumah tangga, yaitu berupa
sampah organik. Teknologi aplikasi yang telah tersedia untuk keperluan tersebut
adalah melalui proses fermentasi biomassa hingga menghasilkan biogas (metana)
yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan, diantaranya adalah untuk membangkitan
generator listrik.
Belakangan
berbagai riset dan uji coba terhadap aplikasi teknologi pemanfaatan biomassa
untuk energi listrik ini telah dilakukan berbagai pihak. Kementerian ESDM,
baru-baru ini (16 September 2014) meresmikan keberhasilannya mengembangkan
energi listrik dari limbah sawit di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau
[6]. Proyek percontohan (pilot project) PLT Biogas ini
mempunyai kapasitas terpasang sebesar 1 MW yang digunakan untuk
mengalirkan listrik kepada 1.050 keluarga. Kelebihan PLT Biogas berbasis limbah
cair sawit antara lain, siap beroperasi secara stabil selama 24 jam, tidak
dipengaruhi faktor cuaca, ramah lingkungan, serta listrik yang dihasilkan
relatif murah dibandingkan dengan pembangkit listrik berbasis BBM (genset diesel
atau PLTD). Proyek percontohan ini berhasil atas kerjasama Kementerian ESDM,
Pemerintah Kabuoaten Rokan Hulu dan Perusahaan kelapa sawit yaitu PT Arya Rama
Prakarsa.
Sebelumya
Kementerian Riset dan Teknologi juga sudah merintis percontohan pemanfaatan biomassa
dari kotoran manusia (tinja) di beberapa pondok pesantren. Bahkan PLN sendiri
pada Juli lalu telah meresmikan proyek rintisan pembangkit listrik tenaga
biomassa dari limbah tongkol jagung di Gorontalo.
Dari berbagai
informasi yang dihimpun dari berbagai artikel di atas, ada beberapa hal yang
menurut saya hal ini makin meyakinkan bahwa energi biomassa ini adalah energi
masa depan yang sangat luar biasa potensial dan “WAJIB” diseriusi untuk
dikelola PLN:
1. Potensi biomassa kita besar: dari kotoran manusia,
ternak, sampah kota, limbah agro industri (dari indutri kelapa sawit, tapioka,
karet dll). Potensi yang luar biasa dan bisa tersdia terus menerus ini tentu
merupakan potensi yang tak boleh disia-siakan pemanfaatannya untuk hal
strategis dan berguna yaitu energi listrik.
2. Dari bebagai uji coba yang telah dilakukan,
ternyata biaya produksi energi listrik dari biomassa lebih kompetitif. Jauh
lebih murah dibandingkan produksi menggunakan bahan bakar minyak. Hasil uji
coba PLN Gorontalo yang menggunakan biomassa dari tongkol jagung di atas
menunjukkan bahwa Biaya Pokok Produksi (BPP)
listrik di Gorontalo jika menggunakan PLTB Tongkol Jagung dapat ditekan menjadi
Rp. 1.058/kWh, sedangkan jika menggunakan BBM BPP-nya mencapai Rp. 2.900/kWh.
3. Pemanfaatan
biomassa sebagai energi melalui sangat ramah lingkungan dan akan sangat
membantu pengurangan gas metan yang terbuang ke udara. Gas metan disinyair
memiliki kontribusi besar untuk membentuk rumah kaca di lapisan atmosfer
sehingga memicu pemanasan global. Dengan memanfaatkan metana yang terbentuk
dari proses dalam intalasi biogas dan dimanfaatkan sebagai bahan bakar, maka
potensi pelepasan gas metana ke udara menjadi terduksi.
Pemanfaatan biomassa menjadi energi listrik mungkin saja tidak bisa
menghasilkan energi cukup besar, tapi karena sifatnya yang bisa dilakukan
secara menyebar sesuai konsentrasi penduduk pengguna, justru ini menjadi
kelebihan tersendiri. Hal ini membuat investasi yang ditanam bisa sedikit demi
sedikit tapi menyebar. Saya membayangkan misalnya jika dibangun
degister-degister biomassa berbasis bahan baku tinja saja, berapa banyak
pembangkit listrik yang sustainable bisa dibangun di kompleks-komples
perumahan perkotaan maupun di kawasan perdesaan. Bukankah ini potensi
kemandirian energi yang sudah ada di depan mata?
Berdasarkan
fakta-fakta tersebut saya berpendapat bahwa sudah selayaknya PLN menyeriusi
potensi ini dengan “turun gunung” secara langsung meng-handle potensi
yang ada dengan membentuk anak
perusahaan baru yang fokus mengeksplorasi energi biomassa dan energi terbarukan
lainnya. Apalagi jika melihat rasio eletrifikasi yang masih di bawah 60
%, rasanya PLN seharusnya segera bergegas “menjemput” potensi ini. Yang saya
tahu kegiatan pemanfaatan biomassa ini oleh PLN baru digarap dalam skala CSR (Corporate
Social Responbility). Model-model percontohan skala komersial seperti yang
dilakukan Kenmeterian ESDM yang bekerjasama dengan pemerintah daerah dan
perusahaan kelapa sawit sebagaimana telah disinggung di atas adalah contoh yang
bisa dijadikan model oleh PLN.